OptimisIndo.com – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang dikenal sebagai Whoosh, telah menelan cost tinggi. Kini, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) harus menanggung beban besar berupa utang pokok dan bunga pinjaman dari China. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa pun bersikeras agar APBN tidak ikut menanggung beban tersebut.
Menurut Purbaya, beban keuangan proyek ini seharusnya bisa dikelola secara mandiri oleh Danantara, holding BUMN yang sudah semakin kuat secara finansial dan dapat memanfaatkan dividen BUMN. “Mereka kan sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri, yang rata-rata setahun bisa dapat Rp 80 triliun atau lebih,” ucapnya dalam suatu diskusi.
Ia menambahkan, “Harusnya mereka manage dari situ, jangan sampai kita lagi, karena kan kalau enggak ya semuanya kita lagi.” Pernyataan itu mempertegas bahwa penggunaan dana negara melalui APBN bukanlah opsi yang diinginkan Menkeu.
Purbaya juga menyatakan bahwa hingga kini belum ada komunikasi langsung dari manajemen Danantara untuk bersama-sama menangani utang kereta cepat. “Saya belum dihubungi untuk masalah itu sih. Nanti begitu ada saya kasih tahu updatenya seperti apa,” ungkapnya.
Awalnya, biaya pembangunan kereta cepat ini diperkirakan senilai US$ 6,07 miliar, namun kemudian membengkak menjadi sekitar US$ 7,27 miliar. Mayoritas pembiayaan proyek berasal dari pinjaman China — khususnya China Development Bank (CDB) — dengan bunga 3,7%–3,8% dan tenor jadwal hingga 35 tahun.
Dalam konsorsium KCIC, BUMN Indonesia melalui PT Pilar Sinergi BUMN memegang 60%, sedangkan pihak China — melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd — memegang 40%.
Purbaya melihat bahwa penggunaan APBN untuk menutup utang kereta cepat membawa risiko moral hazard: keuntungan dari proyek Whoosh masuk ke kas Danantara, sementara kerugian dan beban bunga jika dibebankan ke APBN justru menjadi tanggung jawab publik dan negara. Ia menekankan bahwa struktur pengelolaan BUMN kini berada di bawah Danantara, sehingga tanggung jawab keuangan proyek semestinya berada di sana.
Pernyataan dari pihak istana pun menanggapi sikap Menkeu tersebut. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut Presiden sudah meminta agar semua pihak mencari “skema jalan keluar” agar beban keuangan kereta cepat tidak secara otomatis menjadi beban negara.
Untuk menghadapi tekanan utang, Danantara telah menyiapkan opsi-opsi strategis. Salah satunya adalah menyerahkan infrastruktur fisik KCIC kepada pemerintah, sehingga KCIC hanya bertindak sebagai operator (model asset-light) dan beban utang infrastruktur dialihkan ke APBN. Opsi lainnya adalah melakukan penyertaan modal baru kepada KAI atau korporasi terkait agar perusahaan memiliki kemampuan finansial lebih mandiri dan tidak perlu bergantung pada APBN.
Jika skema-skema ini disetujui dan diimplementasikan, beban fiskal negara terhadap utang kereta cepat dapat dikendalikan tanpa harus langsung menggunakan APBN.
Menkeu Purbaya secara tegas menolak keterlibatan APBN dalam penyelesaian utang kereta cepat Whoosh. Menurutnya, tanggung jawab keuangan sebaiknya berada pada Danantara, yang telah memiliki kemampuan manajemen dan akses terhadap dividen BUMN. Dengan latar belakang pembengkakan proyek dan beban bunga tinggi, skema-skemsa alternatif seperti pemisahan kepemilikan infrastruktur atau penambahan modal dinilai lebih tepat dibandingkan memindahkan beban ke APBN dan publik.